Dalam setiap akhir program pemberdayaan komunitas, dikenal tahapan exiting, lepas pendampingan. Problem krusial pada tahapan ini, yaitu bagaimana menyerahkan program termasuk dana program kepada komunitas. Salah satu titik paling kritis.
Problem Pemberdayaan Komunitas
Bila salah langkah, maka risikonya ’konflik horizontal’, atau kesan tak baik tentang program. Karena program yang dulunya saling ‘berbagi’ (baca : pemberdayaan), setelah ditinggal oleh pendamping, menjadi program ‘bagi-bagi’.
Lalu apa asset reform program? Langkah ini merupakan proses menyerahkan seluruh dana atau asset program kepada komunitas. Lalu, siapakah yang berhak menerima dana atau asset yang begitu besar? Apakah diserahkan kepada individu-individu peserta program, kepada kelompok masyarakat, pemerintah desa atau kepada yang lain?
Bagi Masyarakat Mandiri (MM) yang memiliki track pendampingan komunitas berbasis kelompok, memilih penerima dana reform adalah kelembagaan lokal yang telah diakui oleh seluruh anggota dan komunitas tempat lembaga berada.
Kelembagaan lokal terbentuk secara partisipatif dan alami dari sebuah proses pendampingan, yang di dalamnya dikelola oleh kader-kader pilihan. Selanjutnya, sistem dalam kelembagaan lokallah yang mengatur pengelolaan dana program.
Kenapa harus sebuah kelembagaan?
- Pertama, agar progres penggunaan dana tetap terpantau dengan mudah.
- Kedua, dana dapat dikelola dan berkesinambungan.
- Ketiga, adanya mekanisme kontrol yang dibangun.
- Keempat, diharapkan tumbuhnya saling menguatkan antar sesama anggota.
Sedangkan bentuk kelembagaan lokal yang dimaksud di atas dapat berupa lembaga berbadan hukum seperti koperasi (simpan pinjam, serba usaha). Bisa juga lembaga tidak berbadan hukum seperti Kube (kelompok usaha bersama), paguyuban, atau kelompok mandiri lainnya.
Sulit dan tidaknya, asset reform dana program saat exiting, tergantung pada keberhasilan pendampingan pada tahap awal hingga pertengahan. Pendampingan sebelum exiting diharapkan mampu membentuk kader yang ulet, tangguh dan dipercaya oleh komunitasnya.
Kader inilah nantinya yang akan membangun jaringan dan komunikasi dengan lembaga inisiatornya, agar perjalanan kebijakan kelembagaan tetap pada relnya. Nyaris, peran kader ketika program sudah lepas, ‘sama persis’ dengan peran pendamping program.
Walhasil, perlu proses dan strategi yang ‘apik’ untuk mengasetreformkan program kepada komunitas. Karena tidak hanya dana program yang direformkan, tetapi bagaimana pengelolaanya agar tetap berjalan meski program telah selesai dan tidak menjadi ‘Museum Pemberdayaan’.
Problem Pemberdayaan Komunitas